Analisis Hukum Ketenagakerjaan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah diundangkan pada tanggal 25 Maret 2003 dan sejak tanggal tersebut telah menjadi hukum positif. Undang-Undang ini merupakan pengganti undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan. Mengatur aspek-aspek ketenagakerjaan secara luas baik sebelum terjadi hubungan kerja, dalam hubungan kerja dan setelah berakhirnya hubungan kerja. Undang-undang ini berlaku secara umum, untuk semua sector usaha, tetapi dalam pelaksanaannya untuk sector dan perusahaan tertentu diberlakukan secara khusus, misalnya ketentuan mengenai waktu kerja, waktu istirahat dan cuti panjang.
Harus diakui secara jujur bahwa implemntasi UU ini tidak mustahil akan terjadi ketentuan-ketentuan yang interaktif sehingga memerlukan cara penyelesaian yang arif dan bijaksana. Hal ini dapat berakibat kurang memberikan kepastian hukum dan lebih lanjut akan mudah menimbulkan perselisihan dalam pelaksanaannya. Dalam system hukum Indonesia, Insitusi atau lembaga yang berwenang dalam melakukan iterpretasi suatu ketentuan Undang-Undang adalah badan peradlian dalam hal ini dilakukan oleh hakim.
Untuk menghindari terjadi perbedaan pendapat dalam pelaksanaan Undang-Undang ini dapat ditempuh dalam 2 (dua) cara yang menurut hemat penulis cukup efektif.
a. Ketentuan-ketentuan yang bersifat interpretative sejauh mungkin diatur kembali dalam peraturan pelaksanaannya baik berupa peraturan pemerintah, Keputusan Presiden atau Keputusan Menteri, namun dengan ketentuan pengaturan tersebut tidak menyimpang dari maksud dan tujuan yang diatur dalam UU No.13 Tahun 2003.
b. diatur dalam perjanjian kerja bersama. PKB merupakan kesepakatan bersama, dan dengan dimasukan ketentuan-ketentuan yang bersifat interpretative dalam PKB berarti telah ada persamaan pemahaman dan mengikat kedua belah pihak.
Hakimlah yang berwenang untuk menetapkan apa yang dimaksud dengan ketentuan yang bersifat interpretative tersebut. Karena itu sebaiknya apabila terjadi perbedaan penafsiran atau perbedaan pemahaman dan tidak dapat diselesaikan secara musyawarah, sebaiknya diajurkan pada pengadilan namun ada kendala apabila dikaitkan dengan RUU tentang penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial yang saat ini sedang dibahas di DPR RI. Dalam konsep PPHI, semua perkara tidak ada upaya banding dan tidak semua perkara dapat dilakukan upaya kasasi pada Mahkamah Agung....(selengkapnya)