Analisis Hukum Ketenagakerjaan
Kegiatan logistik memiliki posisi penting dalam mendukung keberlangsungan kegiatan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat sehari-hari. Proses bongkar muat dalam kegiatan ini perlu dilakukan dengan cepat dan efektif seiring kebutuhan masyarakat yang terus meningkat dan beraneka ragam. Dari kegiatan ini pula kemudian lahir profesi tenaga kerja bongkar muat (TKBM) yang umumnya berasal dari masyarakat sekitar lokasi pelabuhan. Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor PM 152 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Bongkar Muat Barang Dari dan Ke Kapal telah mengatur kegiatan usaha bongkar muat barang dilaksanakan oleh pelaksana kegiatan bongkar muat yang terdiri atas perusahaan bongkar muat, perusahaan angkutan laut nasional dan badan usaha pelabuhan yang telah memperoleh konsesi dengan menggunakan peralatan bongkar dan/atau TKBM di pelabuhan. Dalam Keputusan Menteri Perhubungan (Kemmenhub) Nomor KM 14 Tahun 2002 yang sebelumnya berlaku, TKBM mencakup semua tenaga kerja yang terdaftar pada pelabuhan setempat yang melakukan pekerjaan bongkar muat di pelabuhan.
Penyediaan TKBM dilakukan oleh Koperasi TKBM dengan merujuk Surat Keputusan Bersama (SKB) Kementerian Perhubungan c.q. Dirjen Perhubungan Laut, Kementerian Ketenagakerjaan c.q. Dirjen Pengembangan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan serta Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) c.q. Deputi Bidang Kelembagaan Koperasi dan UKM yang sudah beberapa kali mengalami revisi dan penyempurnaan, terakhir yang ditandatangani pada tahun 2011. TKBM dengan demikian sesungguhnya memiliki posisi ganda, sebagai tenaga kerja sekaligus anggota sebuah koperasi.
Posisi sebagai pekerja
UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membedakan tenaga kerja dan pekerja/buruh. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Setelah efektif bekerja maka disebut pekerja/buruh, yaitu setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Upah merupakan salah satu hak yang harus dipenuhi oleh pemberi kerja kepada para pekerjanya. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Menurut Pasal 63, dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan yang sekurang kurangnya memuat keterangan nama dan alamat pekerja/buruh, tanggal mulai bekerja, jenis pekerjaan dan besarnya upah. Hal itu biasanya diterapkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWT) maupun Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang masa kerjanya bisa ditentukan. Misalnya seseorang diangkat melalui surat keputusan perusahaan sebagai Staf Administrasi Pendidikan Lembaga Pendidikan XYZ dengan gaji Rp 4 juta per bulan sejak tanggal 22 April 2022 ini. Segala ketentuan hak dan kewajiban diatur sebaik-baiknya dan dilampirkan bersamaan dengan surat itu.
Bagaimana dengan TKBM?
Pendapatan TKBM di pelabuhan tergantung dari jumlah kapal yang masuk ke sana. Jika banyak yang masuk, praktis banyak pula yang memerlukan keterlibatan mereka dalam kegiatan bongkar-muat. Mereka pun akan memperoleh pendapatan dari kegiatan ini. Sebaliknya bila kapal yang masuk sedikit atau bahkan tidak ada yang masuk, bisa saja pada hari tertentu mereka tidak memperoleh pendapatan. Sebagai ilustrasi, bila ada 10 buah kapal yang masuk dengan melibatkan 20 orang pekerja TKBM dan total penghasilan Rp 5 juta pada hari itu. Setelah dipotong sebesar 10 % oleh coordinator kelompok dari koperasi untuk biaya pengurus, manajemen organisasi dan berbagai biaya lainnya. Sisanya sebesar Rp 4,5 juta baru dibagikan buruh/pekerja yang terlibat dalam kegiatan bongkar-muat pada hari itu atau rata-rata per orang TKBM memperoleh Rp 225 ribu. Potongannya juga berbeda-beda antar koperasi dan waktu kegiatan bongkar-muat. Potongan pada siang hari biasanya lebih besar daripada bagi yang bekerja pada malam hari.
Ketentuan ini misalnya dijalankan pengurus Koperasi Penambang Sampan dan Boat (KPSB) Tanjung Uma sebagaimana diuraikan oleh Yusniati dalam “Sistem Kerja Buruh Pelabuhan di Tanjung Uma Kecamatan Lubuk Baja Kota Batam” (JOM FISIP Universitas Riau Volume 4 No 1 Februari 2017). Pemotongan sebesar 13 % dari hasil pendapatan untuk kegiatan bongkar-muat siang hari, sedangkan pada malam hari hanya 8%. Selain itu pengurus juga mengeluarkan sistem/peraturan bagi para anggota buruh/pekerja TKBM yang bekerja di Pelabuhan Tanjung Uma sebagai berikut :
Bagian terakhir dari peraturan ini sejalan dengan Pasal 80 UU 13/2003 yang menegaskan pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/ buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.
Kegiatan bongkar-muat bukan hanya di pelabuhan, namun juga berlangsung di pasar, kawasan industry atau di lingkungan sekitar perusahaan tertentu. Misalnya yang disampaikan oleh seorang HRD sebuah perusahaan pada ruang konsultasi di portal hukum online. Selain mempekerjakan buruh tetap dan buruh kontrak, ada pula sekitar 30 orang buruh dari lingkungan sekitar yang melakukan kegiatan bongkar muat barang masuk dan barang keluar pada perusahaan ekspor hasil bumi tempatnya bekerja. Ketika barang berupa hasil bumi dari kampung masuk, upahnya dibayar oleh si penjual barang, sedangkan upah bongkar-muat barang keluar yang ready ekspor dibayar oleh perusahaan. Mereka juga membantu kegiatan penjemuran, buang debu dan beberapa kegiatan pendukung lainnya.
Ada dua permasalahan krusial yang dihadapi dari kondisi itu. Pertama, perusahaan tidak dapat mengatur kehadiran pekerja sehingga bisa membuat ekspor tertunda bila yang hadir terlalu sedikit pada saat banyak barang yang harus dibongkar-muat. Kedua, rata-rata telah bekerja 5 tahun ada yang 10 tahun, pernah ada kasus yang bermasalah dan tidak boleh masuk lagi, menuntut uang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ke perusahaan padahal mereka mendaftar ikut kerja melalui ketua atau koordinatornya.
Berdasarkan Pasal 64 UU 13/2003, Perusahaan memang dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Sesuai ketentuan Pasal 65, penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis serta harus memenuhi beberapa syarat-syarat sebagai berikut : dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan, merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan serta tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Perusahaan lain yang menerima penyerahan pekerjaan harus berbentuk badan hukum. Kemudian perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain tersebut sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya. Setiap pekerja/buruh dan keluarganya juga berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja berdasarkan ketentuan Pasal 99 UU 13/2003. Jaminan sosial tenaga kerja tersebut dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini telah diatur melalui UU Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya.
Sebagai anggota koperasi
Berdasarkan ketentuan Pasal 64 UU 13/2003, koperasi yang telah memperoleh status badan hukum dapat menerima penyerahan pekerjaan melalui perjanjian pemborongan. Menurut Pasal 9 UU No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, koperasi memperoleh status badan hukum setelah akta pendiriannya disahkan oleh Pemerintah. Dari sejarah perkembangannya, gerakan koperasi mulai muncul ketika terjadi revolusi industri menggantikan tenaga manusia dengan mesin-mesin sehingga menimbulkan banyak pengangguran di Inggris pada tahun 1770. Berbagai bentuk tatanan kemasyarakatan ditawarkan untuk mengakomodir gejolak ketidakpuasan terhadap kondisi social yang ada. Pada saat itu, seorang industriawan penganut sosialis Robert Owen memperkenalkan istilah co-operation.
Pada 1844, sebuah koperasi yang dibentuk oleh 28 orang anggota berdiri di kota Rochdale, Inggris. Mereka duduk bersama menyusun berbagai langkah pembentukan satuan usaha sehingga koperasi tersebut dapat bertahan dan sukses atas dasar semangat kebersamaan dan kemauan berusaha. Prinsip-prinsip koperasi Rochdale tersebut kemudian dibakukan oleh International Cooperatives Alliance (ICA) dan disampaikan pertama kali dalam konggres yang berlangsung Paris tahun 1937. Selanjutnya ICA mengemukakan tentang jatidiri koperasi yang berisi tentang definisi, nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi yang berlaku secara internasional. Koperasi yang berada di seluruh dunia harus berpedoman pada International cooperative identity Statement (ICIS) yang disepakati bersama dalam Kongres di Manchester Inggris, 1995. Ada 7 prinsip dasar yang disepakati pada saat itu, yaitu Keanggotaan Sukarela dan Terbuka, Pengendalian oleh Anggota-anggota secara Demokratis, Partisipasi Ekonomi Anggota, Otonomi dan Independensi, Pendidikan, Pelatihan dan Informasi, Kerjasama diantara Koperasi serta Kepedulian terhadap Masyarakat. Koperasi melakukan kegiatan bagi pembangunan masyarakat yang berkesinambungan melalui kebijakan yang disetujui oleh anggotanya.
Organisasi buruh dunia – International Labour Organization (ILO, 1966) mendefinisikan koperasi sebagai suatu perkumpulan orang yang bergabung secara sukarela dengan tujuan ekonomi yang ingin dicapai. Biasanya mereka memiliki kemampuan ekonomi terbatas, sehingga melalui suatu bentuk organisasi perusahaan yang diawasi secara demokratis, masing-masing memberikan sumbangan yang setara terhadap modal yang diperlukan, dan bersedia menanggung risiko serta menerima imbalan yang sesuai dengan usaha yang dilakukan. Mondragon Cooperative Corporation di Spanyol bisa disebat sebagai salah satu contoh koperasi pekerja yang berhasil dan dapat dijadikan model dalam pengembangan Koperasi TKBM. Pada awalnya, koperasi ini didirikan oleh para buruh pabrik atas dorongan seorang rohaniawan bernama Jose Maria Arizmendiarrieta. Penolakan perusahaan untuk melatih dan meningkatkan kompetensi para pekerjanya mendorong pendirian sekolah teknik The Escuela Politécnica Profesional pada tahun 1943 yang kemudian bertransformasi menjadi Mondragon University pada 1997. Selanjutnya mereka membuat perusahaan sendiri yang dimiliki bersama dalam model koperasi karena posisi tawar para alumni yang rendah di tempat kerja.
Di dalam koperasi sesuai Pasal 17 UU No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, berlaku prinsip anggota koperasi adalah pemilik dan sekaligus pengguna jasa Koperasi. Keanggotaan Koperasi dicatat dalam buku daftar anggota. Berdasarkan Pasal 20, setiap anggota mempunyai kewajiban untuk mematuhi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, serta keputusan yang telah disepakati dalam Rapat Anggota, berpartisipasi dalam kegiatan usaha yang diselenggarakan oleh Koperasi serta mengembangkan dan memelihara kebersamaan berdasar atas asas kekeluargaan. Pada sisi lain, anggota-anggota koperasi juga mempunyai hak menghadiri, menyatakan pendapat, dan memberikan suara dalam Rapat Anggota, memilih dan/atau dipilih menjadi anggota Pengurus atau Pengawas, meminta diadakan Rapat Anggota menurut ketentuan dalam Anggaran Dasar, mengemukakan pendapat atau saran kepada Pengurus diluar Rapat Anggota baik diminta maupun tidak diminta, memanfaatkan Koperasi dan mendapat pelayanan yang sama antara sesama anggota serta mendapatkan keterangan mengenai perkembangan Koperasi menurut ketentuan dalam Anggaran Dasar.
UU 25/1992 juga memuat ketentuan penggunaan Sisa Hasil Usaha (SHU). Berdasarkan Pasal 45 ayat (2), setelah dikurangi dana cadangan, SHU dibagikan kepada anggota sebanding dengan jasa usaha yang dilakukan oleh masing-masing anggota dengan Koperasi, serta digunakan untuk keperluan pendidikan perkoperasian dan keperluan lain dan Koperasi, sesuai dengan keputusan Rapat Anggota. Terlepas kekurangan dalam praktek yang berjalan selama ini, penyediaan dan pengelolaan TKBM melalui koperasi mampu menjamin penyelenggaraan kegiatan bongkar-muat secara padat karya sehingga membuka kesempatan kerja bagi penduduk sekitar. Apalagi pengembangan koperasi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh merupakan amanah Pasal 101 UU 13/2003. Ditegaskan, pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh berupaya menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh, dan mengembangkan usaha produktif. Pembentukan koperasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan upaya-upaya untuk menumbuhkembangkannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Selain upaya peningkatan kompetensi TKBM yang akan dilakukan oleh Kementerian Ketenagakerjaan menghadapi perkembangan teknologi digital, penataan kelembagaan Koperasi TKBM yang menaunginya juga perlu dilakukan agar tetap selaras dengan prinsip-prinsip dasar koperasi. Pertama, penekanan agar TKBM yang terlibat dalam kegiatan bongkar-muat menjadi anggota koperasi dengan segala hak dan kewajiban yang melekat atas status tersebut. Kedua, atas dasar otonomi dan kekhasan yang dimilikinya, hak atas pelayanan dalam anggaran dasar perlu ditegaskan mencakup pula pelayanan yang harus diterima dalam statusnya sebagai pekerja, termasuk hak atas jaminan social berupa Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian serta Jaminan Hari Tua (JHT). Ketiga, memfasilitasi pengembangan unit-unit usaha produktif yang dapat memberikan alternative pekerjaan bagi anggota di luar kegiatan bongkar-muat. Dengan demikian, baik hak sebagai pekerja maupun hak sebagai anggota koperasi terpenuhi semuanya. Kementerian Ketenagakerjaan bersama Kementerian Koperasi dan UKM harus mengawal agar tidak terjadi demutualisasi dalam koperasi yang selama ini memayungi TKBM. Koperasi sebagai perusahaan harus tetap dikelola secara demokratis dan dapat menjamin agar anggota dapat terus berpartisipasi secara ekonomi.