Outsorcing Pasca Putusan MK
Outsorcing
adalah penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja secara tertulis.
Ketentuan ini secara khusus telah diatur dalam undang-undang nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 64 – 66, yang kemudian ditindaklanjuti
dengan Keputusan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi nomor Kep-220/MEN2004
tentang syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada
Perusahaan Lain serta No. Kep.101/MEN/2004 tentang Tata cara perijinan
Perusahaan Penyedia jasa Pekerja/Buruh/
Sebagian
besar pekerja outsorcing ini dalam kenyataannya dipekerjakan sebagai pekerja
dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak. Oleh sebab
itu pelaksanaan outsorcing ini perlu dikaitkan dengan ketentuan UU No.13 Tahun
2003 Pasal 56-59 dan kepmenakertrans No.Kep.100/MEN/VI/2004.
Penyerahan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian
pemborongan harus memenuhi syarat-syarat berikut :
- Dilakukan
secara terpisah dari kegiatan utama;
- Dilakukan
dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
- Merupakan
kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
- Tidak
menghambat proses produksi secara langsung;
- Perusahaan
lain sebagai penerima pekerjaan harus berbentuk badan hukum;
- Perlindungan
kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja pada perusahaan penerima pekerjaan
tidak boleh kurang dari perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada
perusahaan pemberi kerja.
g.
Hubungan
kerja di perusahaan penerima pekerjaan dapat didasarkan atas perjanjian kerja
waktu tidak tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 59.
Dalam
hal ketentuan diatas tidak terpenuhi, maka demi hokum status hubungan kerja
pekerja dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja
pekerja dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
LANJUTKAN MEMBACA