Analisis Hukum Ketenagakerjaan
Mutasi Pekerja pada dasarnya merupakan hak Pengusaha yang disesuai n dengan kebutuhan Perusahaan.7 Namun demikian pelaksanaan mutasi tersebut harus memperhatikan aspek kemanusiaan kebutuhan pekerja dan pelaksanaannya harus dilakukan sesuai ketentuan dan prosedur yang telah disepakati bersama antara Pengusaha dan Pekerja sebagaimana telah diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama yang menjadi sarana hubungan kerja yang memenuhi syarat-syarat kerja, dengan demikian terhadap mutasi yang dilakukan tidak memenuhi prosedur dan ketentuan yang telah disepakati bersama, maka secara hukum tidak mengikat kepada Pekerja.
Penolakan Mutasi jelas menjadi persoalan perselisihan hubungan industrial, hal ini dapat menjadi terang dan tegas apabila Pekerja melayangkan surat penolakan mutasi kepada perusahaan atau setidak-tidaknya tidak melaksanakan pindah tugas ditempat kerja yang baru sebagaimana mestinya seorang pekerja. Hak Pekerja untuk melakukan keberatan terhadap surat mutasi dengan melakukan perundingan Bipartit untuk permohonan pembatalan mutasi. Hal ini sebenarnya momentum Pekerja untuk mendapatkan informasi dan alasan-alasan yang jelas dilakukan mutasi, apakah disebabkan promosi atau hukuman atau kebutuhan lain harsulah diutamakan diselesaikan secara kekeluargaan.
Perusahaan wajib menyampaikan informasi yang jelas dan terang, hal ini dilakukakn agar terpenuhi asas ketenagakerjaan yang objektif dan adil. Dalam melakukan mutasi Pekerja perusahaan harus melihat apakah keputusannya itu memenuhi pembangunan ketenagakerjaan yang bertujuan: memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi; mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah; memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
Perusahaan akan melakukan pemanggilan sebanyak dua atau tiga kali kepada Pekerja dengan Surat Panggilan, apabila Pekerja menolak dipanggil maka perusahaan akan mengkualifikasikan tindakan Pekerja sebagai pengunduran diri. Lazimnya perusahaan akan mencatatkan tentang Perselisihan Hubungan Industrial kepada Dinas Tenaga Kerja Pemerintah setempat untuk menyelesaikan permasalahan secara tripartit.
Pengkualifikasian pengunduran diri Pekerja oleh Perusahaanlah yang menjadi penyebab masalah selanjutnya olehkarena Pekerja hanya akan mendapatkan uang penggantian hak sesuai ketentuan dan uang pisah yang besarannya diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 50 huruf a dan huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.
Pelindungan terhadap Pekerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar Pekerja dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan prinsip kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha hal inilah yang harus diperhatikan dalam pembangunan ketenagakerjaan. Banyak gugatan yang dilayangkan oleh Pekerja agar alasan penolakan mutasi Pekerja dikualifikasikan sebagai Pemutusan Hubungan Kerja bukan pengunduran diri. Hal ini bertujuan agar Pekerja lebih terlindungi dan mendapatkan hak-haknya yang lebih besar.
Pekerja lebih mendalilkan agar dikualifikasikan kedalam Pasal 48 atau Pasal 52 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja yang pada intinya menyatakan Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan adanya permohonan Pemutusan Hubungan Kerja yang diajukan oleh Pekerja/Buruh dengan alasan Pengusaha melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 36 huruf g maka Pekerja/Buruh berhak atas: uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2); uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4).
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 36 huruf g adalah pengusaha melakukan perbuatan memerintahkan Pekerja/Buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan. Pasal 52 yang pada intinya menyatakan Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut maka Pekerja/ Buruh berhak atas: uang pesangon sebesar 0,5 (nol koma lima) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2); uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4).
Alasan-alasan yang mendasari penolakan mutasi kerja oleh Pekerja misalnya dalam Perkara Reg. 141/Pdt.Sus- PHI/2015/PN.Bdg Jo Reg. 339K/Pdt.Sus- PHI/2016 yang alasan penolakannya pada pokoknya disebabkan oleh pemutasian Pekerja tidak sesuai dengan Surat Mutasi Karyawan artinya Pekerja tidak ditempatkan sesuai bidang/wilayah kerja yang tercantum dalam Surat Mutasi Karyawan misalnya Pekerja seharunya ditempatkan ke bagian administrasi General Affair, namun faktanya justru ditempatkan di bagian lebih rendah dari jabatan sebelumnya yaitu bagian produksi. Alasan kedua adalah mutasi dilakukan diantara badan hukum yang berbeda misalnya Perusahaan A memutasi Pekerjanya ke Perusahaan B, maka tindakan Perusahaan tersebut tidak dapat dibenarkan karena melanggar ketentuan hukum ketenagakerjaan yang berlaku.
Dalam praktinya ada beberapa kondisi/keadaan penolakan mutasi berakibat pengkualifikasian pengunduran diri atau Pemutusan Hubungan Kerja. Pertama, jika terdapat didalam Perjanjian Kerja/Peraturan Perusahaan/Perjanjian Kerja Bersama terdapat ketentuan mutasi yang dijalankan adalah hak Perusahaan/Pengusaha atau setiap mutasi atau perpindahan kerja berdasarkan kepentingan Perusahaan dengan kemampuan atau keterampilan karyawan dan sedapat mungkin keinginan karyawan dipertimbangan serta pemindahaanya tidak merugikan Pekerja yang dilakukan sesuai prosedur, namun Pekerja tetap menolak maka dikualifikasikan mengundurkan diri. Kedua, jika terdapat ketentuan mutasi didalam Perjanjian Kerja/Peraturan Perusahaan/Perjanjian Kerja Bersama namun prosedur mutasinya tidak sesuai dengan yang ditentukan misalnya setiap mutasi harus mendapatkan persetujuan masing-masing Direktur terlebih dahulu dan selanjutnya diteruskan kepada HRD tersebut maka mutasi tidak mengikat kepada Pekerja atau bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dan yang ujung-ujung perselisihan hubungan industrialnya dikualifikasi sebagai Pemutusan Hubungan Kerja. Ketiga, Jika ada penolakan mutasi namun tidak terdapat dalam Perjanjian Kerja/Peraturan Perusahaan/Perjanjian Kerja Bersama maka jika terjadi perselisihan hubungan industrial dikualifikasi sebagai Pemutusan Hubungan Kerja.
Selanjutnya ada kondisi dimana berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung yang tidak mengkualifikasikan penolakan mutasi olehkarena Pekerja tidak melakukan pekerjaan atau menolak panggilan kerja padahal Perusahaan telah memanggil sebanyak 3 (tiga) kali tidak dikategorikan mangkir atau tidak dikualifikasikan mengundurkan diri. Hal diatas disebabkan karena pada saat sebelum surat paggilan yang dilayangkan Perusahaan dikirimkan kepada Pekerja, Pekerja sudah lebih dahulu memperselisihkan mengenai mutasi yang diajukan melalui perundingan Tripartit ke Dinas Ketenagakerjaan yang dituju, yang mana Disnaker juga telah mengeluarkan panggilan secara tertulis kepada Perusahaan dan Pekerja.
Olehkarena perselisihan mutasi itu sudah berlangsung di Disnaker dan juga masih dalam tahapan penyelesaian Hubungan Industrial sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial, maka ketidakhadiran Pekerja ditempat yang baru tidak dapat dikualifikasikan mangkir dan juga tidak dapat dikualifikasikan telah mengundurkan diri sebagaimana ketentuan Pasal 36 huruf I Jo Pasal 50 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Hal ini terdapat dalam yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. 1065 K/Pdt.Sus-PHI/2018, didalam pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan “…mutase yang dilakukan oleh Penggugat terhadap Tergugat masih menjadi perselisihan antara Tergugat dengan Penggugat dan juga masih dalam tahapan proses penyelesaian perselisihan sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, maka ketidakhadiran Tergugat di tempat kerja yang baru tidak dapat dianggap sebagai mangkir, sehingga Tergugat tidak dapat dikualifikasikan telah mengundurkan diri sebagaimana ketentuan dalam Undang- Undang Noo 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan”